Bid’ah adalah perkara baru yang
dilarang agama. Sering kita mendengar dari mulut ke mulut tentang bid’ah
diberbagai kalangan umat Islam. Mereka menyebut ini bid’ah, itu bid’ah dan
sesat. Setelah ditanya "bid’ah itu apa?" mereka tidak bisa menjawab,
atau menjawab tetapi cuma asal-asalan. Yang pantas bicara bid’ah itu cuma
ahlinya, bagi anda yang bukan ahlinya maka jangan sekali-kali bicara bid’ah
karena cuma sia-sia saja atau bisa jadi anda sendiri yang sesat dan menyesatkan
jika ucapannya diamalkan orang lain. Sebenarnya bid’ah itu apa? Mari mencermati
definisi bid’ah dibawah ini!
وقال الحافظ ابن رجب الحنبلي: والمرادُ بالبدعة: ما أحدث مما
لا أصل له في الشريعة يَدُل عليه. أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة
شرعاً، وإن كان بدعة لغة. ﴿مسند أحمد - ج ٢٢ ص ٢٣٨﴾
Dan Al-Ḥafiẓ Ibnu Rojab Al-Ḥanbaliy telah berkata: Yang dimaksud bid’ah
adalah perkara yang diperbarui dari perkara yang tidak ada asalnya di dalam
syari’at yang menunjukkannya. Adapun perkara yang terdapat asal dari syari’at
yang menunjukkannya maka bukan bid’ah menurut syari’at walaupun bid’ah menurut
bahasa. ﴾Musnad Aḥmad Juz
22 Hal 238﴿.
Berdasarkan fatwa Al-Ḥafiẓ Ibnu
Rojab Al-Ḥanbaliy, bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada sumbernya atau dalilnya.
Kalau perkara baru tersebut ada sumbernya dari syari’at maka bukan bid’ah
dipandang dari segi syari’at, walaupun bila dipandang dari segi bahasa bid’ah.
Sebagai contoh; kumpul-kumpul pengajian, kumpul-kumpul membaca Al-Qur'an.
Berkumpul melakukan pengajian memang bid’ah kalau ditinjau dari segi bahasa
karena berkumpulnya ialah perkara baru, tetapi yang namanya pengajian sudah ada
di zaman Nabi Muhammad SAW., kalau dahulu Nabi Muhammad tidak mengajari ngaji
kepada para sahabat tentu saja Islam tidak akan bisa tersebar ke berbagai
penjuru dunia. Berarti berkumpul pengajian dipandang dengan kaca mata syari’at
bukan bid’ah karena Nabi Muhammad SAW. juga ngajari ngaji para sahabat.
Demikian pula berkumpul membaca Al-Qur'an. Untuk lebih jelas lagi bacalah
referensi berikut!
والبدعة في الأصل أحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله ثم
البدعة على نوعين إن كانت مما يندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت
مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة ﴿عمدة القاري شرح صحيح البخاري -
ج ١١ ص ١٢٦﴾
Dan bid’ah di dalam asalnya ialah hal-hal barunya perkara yang tidak ada di
zaman Rosululloh, kemudian bid’ah (terbagi) dua jenis. Jika keberadaan bid’ah
itu sebagian dari perkara yang termasuk di bawah sesuatu yang dipandang baik
menurut syara’/syari’at (undang-undang agama), maka (bid’ah itu) adalah bid’ah ḥasanah
(baik). Dan jika keberadaan (bid’ah itu) sebagian dari perkara yang termasuk di
bawah sesuatu yang dipandang buruk menurut syara’/syari’at, maka (bid’ah itu)
adalah bid’ah buruk. ﴾’Umdatul
Qori Syarḥ Ṣoḥiḥ Bukhori Juz 11 Hal 126﴿.
Hal-hal yang dikatakan bid’ah
ditinjau dari sisi baik atau buruknya, bukan cuma ditinjau dari barunya saja.
Peninjauan tersebut harus berdasarkan syari’at. Apabila terdapat unsur kebaikan
berarti bid’ah ḥasanah (baik), dan apabila terdapat unsur kejelekan berarti
bid’ah mażmumah (jelek).
فسماها بدعة لأنه ﷺ لم يسن الاجتماع لها ولا كانت في زمان
الصديق وهو لغة ما أحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعا على مقابل السنة وهي ما لم
يكن في عهده ﷺ ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة وحديث "كل بدعة ضلالة" عام مخصوص
وقد رغب فيها عمر بقوله "نعمت البدعة" وهي كلمة تجمع المحاسن كلها كما أن
بئس تجمع المساوي كلها وقد قال ﷺ "اقتدوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر"
وإذا أجمع الصحابة على ذلك مع عمر زال عنه اسم البدعة ﴿شرح الزرقاني - ج ١ ص ٣٤٠﴾
Maka sahabat ’Umar menyebut (ibadah romaḍon dengan satu imam dan dilaksanakan
terus selama satu bulan penuh) sebagai bid’ah, karena Nabi SAW. tidak pernah
menggiring kumpul ibadah romaḍon, dan ibadah romaḍon tersebut tidak ada di
zaman (Abu Bakar) Aṣ-Ṣiddiq. Bid’ah menurut bahasa adalah perkara baru yang
tidak ada kesamaan yang mendahuluinya, dan bid’ah diucapkan menurut syara’/syaria’at
yaitu perbandingan sunnah dan bid’ah ialah perkara yang tidak ada di masa Nabi
SAW., kemudian bid’ah terbagi menjadi lima hukum. Adapun ḥadiṡ "kullu
bid’atin ḍolâlatun" adalah umum yang dikhususkan. Dan ’Umar benar-benar
senang bid’ah dengan ucapannya "ni‘matil bid’ah (sebaik-baiknya
bid’ah)". "Ni‘ma" yaitu kata yang mengumpulkan kebaikan-kebaikan
secara menyeluruh seperti halnya kata "bi'sa" yaitu kata mengumpulkan
kejelekan-kejelekan secara menyeluruh. Nabi SAW. benar-benar telah bersabda: "Kalian
ikutilah dua orang sesudahku, "Abu Bakar dan ’Umar". Dan apabila
sahabat sudah sepakat atas yang demikian itu beserta ’Umar maka nama bid’ah
menjadi hilang. ﴾Syaraḥ
Az-Zarqoni Juz 1 Hal 340﴿.
Jangan cuma ḥadiṡ "kullu
bid’atin ḍolâlatun" saja yang dibawa ke sana kemari, karena ḥadiṡ tersebut
bersifat umum yang dikhususkan (perlu pengecualian). Maksudnya: semua bid’ah
itu sesat kecuali yang baik. Jika bid’ahnya terdapat kebaikan maka bukan bid’ah
yang sesat, melainkan bid’ah yang baik, seperti yang dilakukan oleh sahabat
’Umar dalam masalah ibadah romaḍon.
Yang dimaksud ibadah romaḍon yaitu
sebuah sejarah yang tertulis dalam ḥadiṡ dibawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ
نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ
ﷺ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: (قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي
مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ) وَذَلِكَ
فِي رَمَضَانَ ﴿صحيح البخاري - ج ٢ ص ٥٠ وصحيح مسلم ج ١ ص ٥٢٤﴾
Dari ’Aisyah Ummul Mu'minin RAh.: Sesungguhnya Rosululloh SAW. ṣolat pada
suatu malam di masjid, lalu para sahabat ṣolat bersama Rosululloh, kemudian
Rosululloh ṣolat di malam berikutnya, lalu para sahabat menjadi banyak,
kemudian para sahabat berkumpul di malam ke tiga atau ke empat, lalu Rosululloh
SAW. tidak keluar (untuk ṣolat) bersama para sahabat, lalu tatkala telah ṣubuḥ
Rosululloh bersabda: "Aku benar-benar tahu yang kalian lakukan (tadi
malam), dan tidak mencegah aku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku
takut diwajibkan (ṣolat tarawih) atas kalian". Dan (kejadian) itu di bulan
romaḍon. ﴾Ṣoḥiḥ Bukhori
Juz 2 Hal 50 dan Ṣoḥiḥ Muslim Juz 1 Hal 524﴿.
Kedua ḥadiṡ yang diriwayatkan oleh
Imam bukhori dan Imam Muslim di atas sangat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW.
tidak pernah melakukan ṣolat tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh. Jadi ṣolat
tarawih yang dilakukan satu bulan penuh tidak disebut bid’ah menurut syari’at
karena Nabi Muhammad pernah ṣolat tarawih walaupun cuma beberapa malam saja, tetapi
disebut bid’ah menurut bahasa karena dua alasan; 1. Nabi Muhammad tidak pernah
tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh. 2. Menurut keterangan yang ṣoḥiḥ
Nabi Muhammad cuma berjama’ah delapan rakaat di masjid lalu diteruskan ṣolat
sampai dua puluh rakaat di rumah beliau dan para sahabat juga demikian itu.
Kemudian di masa kekholifahan ’Umar bin Khoṭṭob, ’Umar bin Khoṭṭob mengumpulkan
umat Islam untuk ṣolat tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh sebanyak dua
puluh rakaat lalu ’Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah yaitu ini (ṣolat tarawih
berjama’ah selama satu bulan penuh). Al-Hasil, bid’ah dilarang atau tidaknya
itu adalah bid’ah menurut sudut pandang syari’at, bukan menurut sudut pandang
bahasa.
Adakah yang berani mengatakan ṣolat tarawih berjama’ah
selama satu bulan penuh adalah bid’ah, sesat dan masuk neraka?. Pahamilah
baik-baik keterangan diatas!.
قال الشيخ المجمع على إمامته وجلالته أبو محمد عز الدين بن عبد
السلام رحمه الله في آخر كتاب القواعد: البدع منقسمة على خمسة: واجبة، كالاشتغال بعلم
النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى، وكلام رسوله ﷺ؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى
إلا بذلك، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وكحفظ غريب الكتاب والسنة، وكتدوين أصول
الفقه، والكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم. ومحرمة، كمذاهب الجبرية،
والقدرية، والمرجئة، والمجسمة. والرد على هؤلاء من البدع الواجبة؛ لأن حفظ الشريعة
من هذه البدع فرض كفاية. ومندوبة، كإحداث الربط، والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر
الأول، وكالتراويح، والكلام في دقائق التصوف، وكمجمع المحافل للاستدلال في المسائل
إن قصد بذلك وجه الله تعالى. ومكروهة، كزخرفة في المساجد وتزويق المصاحف. ومباحة، كالمصافحة
عقيب الصبح، والعصر، والتوسيع في لذيذ المأكل، والمشرب، والملابس، والمساكن، وتوسيع
الأكمام. ﴿شرح المشكاة للطيبي الكاشف عن حقائق السنن - ج ٢ / ص ٦٠٥﴾
Syekh Abu Muhammad ’Izzud Din bin Abdus
Salam rohimahullôh yang telah disepakati keimaman dan keagungannya berkata di
dalam akhir catatan kaidah-kaidah: Bid’ah terbagi atas lima bagian: 1. Wajib,
seperti sibuk dengan ilmu nahwu yang dengan ilmu itu bisa faham kalam Alloh
SWT., kalamnya Rosululloh SAW.; karena sesungguhnya menjaga syari’at adalah
wajib, dan tidak mudah kecuali dengan ilmu nahwu, dan perkara yang wajibnya
tidak bisa sempurna kecuali dengan perkara itu maka perkara itu hukumnya wajib
(pula), contohnya; menjaga kitab dan sunnah yang asing (sulit difahami),
pembukuan usul fiqh, pembicaraan di dalam masalah cacat dan pelurusan,
pemisahan yang benar dari yang salah. 2. Haram, seperti mażhab jabariyya,
qodariyyah, murjiah, mujassimah. Dan menolak mażhab-mażhab tersebut yang
merupakan bid’ah ialah wajib; karena menjaga syari’at dari bid’ah-bid’ah
hukumnya yaitu farḍu kifayah. 3. Sunnah, seperti memperbarui ikatan,
madrasah-madrasah, setiap kebaikan yang tidak dijumpai di masa awal, dan
seperti tarawih, pembicaran di dalam sukarnya taṣowwuf, perkumpulan beberapa
perayaan untuk mencari dalil di dalam masalah-masalah jika yang dimaksud dengan
demikikan itu adalah kerelaan Alloh. 3. Makruh, seperti menghias masjid (yang
tak lazim), memperindah muṣḥaf (yang tak lazim). Mubah, seperti jabat tangan setelah
subuh dab asar, melapangkan di dalam kelezatan makanan, minuman, pakaian,
rumah, dan melonggarkan lengan baju. ﴾Syarḥ Al-Misykah Liṭ-Ṭoyyibiy Juz 2
Hal 605﴿.
Jadi,
bid’ah itu harus dilihat dengan teliti, jangan langsung mengatakan sesat,
karena zaman nabi Muhammad tidak ada hukum bid’ah, yang ada cuma lima hukum.
Kalau ada sesuatu yang baru maka harus dicermati bertentangan dengan syari’at
atau tidak.
المحدثات من الأمور ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو
أثرا أو إجماعا، فهذه البدعة ضلالة، وما أحدث لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه
محدثة غير مذمومة. قد قال عمر رضي الله عنه في قيام رمضان نعمت البدعة هذه ، يعني إنها
محدثة لم تكن، وإن كانت فليس فيها رد لما مضى ﴿الجامع في المولد - ج ١٠ ص ٤﴾
Hal baru dari beberapa perkara ada dua macam: 1. Perkara baru yang
bertentangan dengan kitab (Al-Qur'an) atau sunnah (ḥadiṡ) atau aṡar
(peninggalan sahabat) atau ijma‘ (kesepakatan ’ulama'), maka ini adalah bid’ah ḍolâlah
(sesat). Dan 2. Perkara baru yang tidak ada pertentangan didalamnya bagi salah
satu dari perkara tersebut (kitab, sunnah, aṡar dan ijma’), maka ini adalah
perkara baru yang tidak tercela. ’Umar RA. benar-benar berkata di dalam masalah
ibadah romaḍon "Ni‘matil bid’ah hażihi (sebaik-baiknya bid’ah ialah ini
[berjama’ah tarawih sebulan penuh sebanyak 20 raka’at tiap malam)",
maksudnya bid’ah adalah hal baru yang tidak ada (sebelumnya), dan jika sudah
ada maka tidak boleh menolak di dalamnya terhadap perkara yang sudah lewat. ﴾Al-Jami‘ Fil
Maulid Juz 10 Hal 4﴿.
Tidak benar kalau bid’ah yang tidak
bertentangan dengan Al-Qur'an, sunnah, aṡar dan ijma‘ dikatakan sesat.
البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة. فما وافق السنة
فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر بن الخطاب رضي الله عنه في
قيام رمضان: نعمت البدعة هي ﴿فتاوى الشبكة الإسلامية - ج ١٠ ص ٤١٨٩﴾
Bid’ah itu ada dua, bid’ah maḥmûdah (terpuji) dan bid’ah mażmûmah (tercela).
Perkara yang sesuai dengan sunnah ialah bid’ah terpuji, dan perkara yang
bertentangan dengan sunnah ialah bid’ah tercela. Ucapan ’Umar bin Khoṭṭob RA.
di dalam penunaian romaḍon bisa dibuat bukti: Sebaik-baiknya bid’ah yaitu ini (penunaian
romaḍon). ﴾Fatawa Asy-Syabakah
Al-Islamiyyah Juz 1 Hal 4189﴿.
Bid’ah yang tidak bertentangan
dengan syari’at adalah bid’ah terpuji. Lihatlah sejarah, seperti bid’ah
tarawih, karena Rosululloh SAW. tidak pernah tarawih sebulan penuh dan
berjama’ah di masjid cuma 8 raka’at lalu diteruskan dirumah sampai 20 raka’at.
وما يقال إنه أبدع بعد رسول الله ﷺ فليس كل ما أبدع منهيا
بل المنهي بدعة تضاد سنة ثابتة وترفع أمرا من الشرع مع بقاء علته بل الإبداع قد
يجب في بعض الأحوال إذا تغيرت الأسباب ﴿إحياء علوم الدين - ج ٢ ص ٣﴾
Mananya perkara yang dikatakan diperbarui setelah Rosululloh SAW. maka
setiap apa-apa yang diperbarui belum tentu dilarang, akan tetapi yang dilarang
adalah bid’ah yang berlawanan dengan sunnah yang permanen dan menghilangkan
perkara syari’at beserta masih ada alasannya, tetapi memperbarui kadang wajib
di sebagian keadaan apabila terdapat perubahan sebab-sebab. ﴾Iḥya' Ulumiddin
Juz 2 Hal 3﴿.
Fatwa imam Hujjatul Islam Abu Ḥamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Gozaliy di atas sangat jelas dan tidak
perlu penjelasan.
وقال الحافظ ابن رجب رحمه الله: البدعة ما أحدث مما لا أصل
له في الشريعة يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا
وإن كان بدعة لغة فقوله ﷺ: "كل بدعة ضلالة"، من جوامع الكلم لا يخرج عنه
شيء وهو أصل عظيم من أصول الدين. وأما ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع
فإنما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية فمن ذلك قول عمر رضي الله عنه في التراويح:
"نعمت البدعة هذه" ﴿مجلة الجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة - ج ٣١ ص ٤٣١﴾
Al-Ḥafiẓ Ibnu Rojab roḥimahullôh telah berkata: Bid’ah adalah perkara yang
diperbarui dari perkara yang tidak ada asalnya di dalam syari’at yang
menunjukkannya. Adapun perkara yang terdapat asal dari syari’at yang
menunjukkannya maka bukan bid’ah menurut syari’at walaupun bid’ah menurut
bahasa. Maka adapun sabda Nabi SAW. "setiap bid’ah sesat" ialah
sebagian dari beberapa pengumpulan kata-kata yang tidak ada sesuatu pun yang
keluar darinya, itu pokok penting dari beberapa pokok agama. Adapun perkara yang
terjadi di sebagian perkataannya salaf tentang penganggapan baik sebagian
bid’ah maka yang demikian itu di dalam bid’ah secara bahasa, bukan menurut
syari’at. Contohnya ucapan ’Umar RA. di dalam tarawih "sebaik-baiknya
bid’ah ialah ini". ﴾Majallatul Jami’atil
Islamiyyah Bil Madinatil Munawwaroh Juz 31 Hal 431﴿.
Sebelum bercakap-cakap tentang
bid’ah, sebaiknya mengetahu definisi bid’ah terlebih dahulu. Jangan sekali-kali
membicarakan bid’ah kalau tidak tahu definisinya, apalagi dengan mudah
mengeluarkan kata-kata "sesat". Bisa-bisa anda sendiri yang sesat dan
menyesatkan.
Wallôhu a‘lamu biṣ ṣowâb.
No comments:
Post a Comment