Saturday, 12 November 2016

Teks Ikrar Santri NU

IKRAR SANTRI
بسم الله الرحمن الرحيم
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله
Kami Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia | Berikrar:
1.   Berpegang teguh pada aqidah, | ajaran, | nilai, | dan tradisi Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
2.   Bertanah air satu | tanah air Indonesia, | berideologi negara satu | ideologi Pancasila, | berkonstitusi satu | undang-undang dasar 1945, dan berkebudayaan satu | Bineka Tunggal Ika.
3.   Selalu bersedia dan siap siaga, | menyerahkan jiwa dan raga, | membela tanah air | dan bangsa Indonesia, | mempertahankan persatuan dan kesatuan nasional, | serta mewujudkan perdamaian abadi.
4.   Ikut berperan aktif | dalam pembangunan nasional, | mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, | lahir dan batin, | untuk seluruh rakyat Indonesia.
5.   Siap berdiri di depan, | melawan siapapun yang merongrong pancasila, | serta pantang menyerah, | pantang putus asa, | dalam mengawal cita-cita proklamasi kemerdekaan, | dan semangat Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.

لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم


Pengertian bid'ah

            Bid’ah adalah perkara baru yang dilarang agama. Sering kita mendengar dari mulut ke mulut tentang bid’ah diberbagai kalangan umat Islam. Mereka menyebut ini bid’ah, itu bid’ah dan sesat. Setelah ditanya "bid’ah itu apa?" mereka tidak bisa menjawab, atau menjawab tetapi cuma asal-asalan. Yang pantas bicara bid’ah itu cuma ahlinya, bagi anda yang bukan ahlinya maka jangan sekali-kali bicara bid’ah karena cuma sia-sia saja atau bisa jadi anda sendiri yang sesat dan menyesatkan jika ucapannya diamalkan orang lain. Sebenarnya bid’ah itu apa? Mari mencermati definisi bid’ah dibawah ini!
وقال الحافظ ابن رجب الحنبلي: والمرادُ بالبدعة: ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يَدُل عليه. أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعاً، وإن كان بدعة لغة. ﴿مسند أحمد - ج ٢٢ ص ٢٣٨
Dan Al-Ḥafiẓ Ibnu Rojab Al-Ḥanbaliy telah berkata: Yang dimaksud bid’ah adalah perkara yang diperbarui dari perkara yang tidak ada asalnya di dalam syari’at yang menunjukkannya. Adapun perkara yang terdapat asal dari syari’at yang menunjukkannya maka bukan bid’ah menurut syari’at walaupun bid’ah menurut bahasa. Musnad Aḥmad Juz 22 Hal 238﴿.
            Berdasarkan fatwa Al-Ḥafiẓ Ibnu Rojab Al-Ḥanbaliy, bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada sumbernya atau dalilnya. Kalau perkara baru tersebut ada sumbernya dari syari’at maka bukan bid’ah dipandang dari segi syari’at, walaupun bila dipandang dari segi bahasa bid’ah. Sebagai contoh; kumpul-kumpul pengajian, kumpul-kumpul membaca Al-Qur'an. Berkumpul melakukan pengajian memang bid’ah kalau ditinjau dari segi bahasa karena berkumpulnya ialah perkara baru, tetapi yang namanya pengajian sudah ada di zaman Nabi Muhammad SAW., kalau dahulu Nabi Muhammad tidak mengajari ngaji kepada para sahabat tentu saja Islam tidak akan bisa tersebar ke berbagai penjuru dunia. Berarti berkumpul pengajian dipandang dengan kaca mata syari’at bukan bid’ah karena Nabi Muhammad SAW. juga ngajari ngaji para sahabat. Demikian pula berkumpul membaca Al-Qur'an. Untuk lebih jelas lagi bacalah referensi berikut!
والبدعة في الأصل أحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله ثم البدعة على نوعين إن كانت مما يندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة ﴿عمدة القاري شرح صحيح البخاري - ج ١١ ص ١٢٦
Dan bid’ah di dalam asalnya ialah hal-hal barunya perkara yang tidak ada di zaman Rosululloh, kemudian bid’ah (terbagi) dua jenis. Jika keberadaan bid’ah itu sebagian dari perkara yang termasuk di bawah sesuatu yang dipandang baik menurut syara’/syari’at (undang-undang agama), maka (bid’ah itu) adalah bid’ah ḥasanah (baik). Dan jika keberadaan (bid’ah itu) sebagian dari perkara yang termasuk di bawah sesuatu yang dipandang buruk menurut syara’/syari’at, maka (bid’ah itu) adalah bid’ah buruk. ’Umdatul Qori Syarḥ Ṣoḥiḥ Bukhori Juz 11 Hal 126﴿.
            Hal-hal yang dikatakan bid’ah ditinjau dari sisi baik atau buruknya, bukan cuma ditinjau dari barunya saja. Peninjauan tersebut harus berdasarkan syari’at. Apabila terdapat unsur kebaikan berarti bid’ah ḥasanah (baik), dan apabila terdapat unsur kejelekan berarti bid’ah mażmumah (jelek).
فسماها بدعة لأنه ﷺ لم يسن الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق وهو لغة ما أحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده ﷺ ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة وحديث "كل بدعة ضلالة" عام مخصوص وقد رغب فيها عمر بقوله "نعمت البدعة" وهي كلمة تجمع المحاسن كلها كما أن بئس تجمع المساوي كلها وقد قال ﷺ "اقتدوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر" وإذا أجمع الصحابة على ذلك مع عمر زال عنه اسم البدعة ﴿شرح الزرقاني - ج ١ ص ٣٤٠
Maka sahabat ’Umar menyebut (ibadah romaḍon dengan satu imam dan dilaksanakan terus selama satu bulan penuh) sebagai bid’ah, karena Nabi SAW. tidak pernah menggiring kumpul ibadah romaḍon, dan ibadah romaḍon tersebut tidak ada di zaman (Abu Bakar) Aṣ-Ṣiddiq. Bid’ah menurut bahasa adalah perkara baru yang tidak ada kesamaan yang mendahuluinya, dan bid’ah diucapkan menurut syara’/syaria’at yaitu perbandingan sunnah dan bid’ah ialah perkara yang tidak ada di masa Nabi SAW., kemudian bid’ah terbagi menjadi lima hukum. Adapun ḥadiṡ "kullu bid’atin ḍolâlatun" adalah umum yang dikhususkan. Dan ’Umar benar-benar senang bid’ah dengan ucapannya "ni‘matil bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah)". "Ni‘ma" yaitu kata yang mengumpulkan kebaikan-kebaikan secara menyeluruh seperti halnya kata "bi'sa" yaitu kata mengumpulkan kejelekan-kejelekan secara menyeluruh. Nabi SAW. benar-benar telah bersabda: "Kalian ikutilah dua orang sesudahku, "Abu Bakar dan ’Umar". Dan apabila sahabat sudah sepakat atas yang demikian itu beserta ’Umar maka nama bid’ah menjadi hilang. Syaraḥ Az-Zarqoni Juz 1 Hal 340﴿.
            Jangan cuma ḥadiṡ "kullu bid’atin ḍolâlatun" saja yang dibawa ke sana kemari, karena ḥadiṡ tersebut bersifat umum yang dikhususkan (perlu pengecualian). Maksudnya: semua bid’ah itu sesat kecuali yang baik. Jika bid’ahnya terdapat kebaikan maka bukan bid’ah yang sesat, melainkan bid’ah yang baik, seperti yang dilakukan oleh sahabat ’Umar dalam masalah ibadah romaḍon.
            Yang dimaksud ibadah romaḍon yaitu sebuah sejarah yang tertulis dalam ḥadiṡ dibawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: (قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ) وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ ﴿صحيح البخاري - ج ٢ ص ٥٠ وصحيح مسلم ج ١ ص ٥٢٤
Dari ’Aisyah Ummul Mu'minin RAh.: Sesungguhnya Rosululloh SAW. ṣolat pada suatu malam di masjid, lalu para sahabat ṣolat bersama Rosululloh, kemudian Rosululloh ṣolat di malam berikutnya, lalu para sahabat menjadi banyak, kemudian para sahabat berkumpul di malam ke tiga atau ke empat, lalu Rosululloh SAW. tidak keluar (untuk ṣolat) bersama para sahabat, lalu tatkala telah ṣubuḥ Rosululloh bersabda: "Aku benar-benar tahu yang kalian lakukan (tadi malam), dan tidak mencegah aku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku takut diwajibkan (ṣolat tarawih) atas kalian". Dan (kejadian) itu di bulan romaḍon. Ṣoḥiḥ Bukhori Juz 2 Hal 50 dan Ṣoḥiḥ Muslim Juz 1 Hal 524﴿.
            Kedua ḥadiṡ yang diriwayatkan oleh Imam bukhori dan Imam Muslim di atas sangat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak pernah melakukan ṣolat tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh. Jadi ṣolat tarawih yang dilakukan satu bulan penuh tidak disebut bid’ah menurut syari’at karena Nabi Muhammad pernah ṣolat tarawih walaupun cuma beberapa malam saja, tetapi disebut bid’ah menurut bahasa karena dua alasan; 1. Nabi Muhammad tidak pernah tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh. 2. Menurut keterangan yang ṣoḥiḥ Nabi Muhammad cuma berjama’ah delapan rakaat di masjid lalu diteruskan ṣolat sampai dua puluh rakaat di rumah beliau dan para sahabat juga demikian itu. Kemudian di masa kekholifahan ’Umar bin Khoṭṭob, ’Umar bin Khoṭṭob mengumpulkan umat Islam untuk ṣolat tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh sebanyak dua puluh rakaat lalu ’Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah yaitu ini (ṣolat tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh). Al-Hasil, bid’ah dilarang atau tidaknya itu adalah bid’ah menurut sudut pandang syari’at, bukan menurut sudut pandang bahasa.
Adakah yang berani mengatakan ṣolat tarawih berjama’ah selama satu bulan penuh adalah bid’ah, sesat dan masuk neraka?. Pahamilah baik-baik keterangan diatas!. 
قال الشيخ المجمع على إمامته وجلالته أبو محمد عز الدين بن عبد السلام رحمه الله في آخر كتاب القواعد: البدع منقسمة على خمسة: واجبة، كالاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى، وكلام رسوله ﷺ؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى إلا بذلك، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وكحفظ غريب الكتاب والسنة، وكتدوين أصول الفقه، والكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم. ومحرمة، كمذاهب الجبرية، والقدرية، والمرجئة، والمجسمة. والرد على هؤلاء من البدع الواجبة؛ لأن حفظ الشريعة من هذه البدع فرض كفاية. ومندوبة، كإحداث الربط، والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، وكالتراويح، والكلام في دقائق التصوف، وكمجمع المحافل للاستدلال في المسائل إن قصد بذلك وجه الله تعالى. ومكروهة، كزخرفة في المساجد وتزويق المصاحف. ومباحة، كالمصافحة عقيب الصبح، والعصر، والتوسيع في لذيذ المأكل، والمشرب، والملابس، والمساكن، وتوسيع الأكمام. ﴿شرح المشكاة للطيبي الكاشف عن حقائق السنن - ج ٢ / ص ٦٠٥
Syekh Abu Muhammad ’Izzud Din bin Abdus Salam rohimahullôh yang telah disepakati keimaman dan keagungannya berkata di dalam akhir catatan kaidah-kaidah: Bid’ah terbagi atas lima bagian: 1. Wajib, seperti sibuk dengan ilmu nahwu yang dengan ilmu itu bisa faham kalam Alloh SWT., kalamnya Rosululloh SAW.; karena sesungguhnya menjaga syari’at adalah wajib, dan tidak mudah kecuali dengan ilmu nahwu, dan perkara yang wajibnya tidak bisa sempurna kecuali dengan perkara itu maka perkara itu hukumnya wajib (pula), contohnya; menjaga kitab dan sunnah yang asing (sulit difahami), pembukuan usul fiqh, pembicaraan di dalam masalah cacat dan pelurusan, pemisahan yang benar dari yang salah. 2. Haram, seperti mażhab jabariyya, qodariyyah, murjiah, mujassimah. Dan menolak mażhab-mażhab tersebut yang merupakan bid’ah ialah wajib; karena menjaga syari’at dari bid’ah-bid’ah hukumnya yaitu farḍu kifayah. 3. Sunnah, seperti memperbarui ikatan, madrasah-madrasah, setiap kebaikan yang tidak dijumpai di masa awal, dan seperti tarawih, pembicaran di dalam sukarnya taṣowwuf, perkumpulan beberapa perayaan untuk mencari dalil di dalam masalah-masalah jika yang dimaksud dengan demikikan itu adalah kerelaan Alloh. 3. Makruh, seperti menghias masjid (yang tak lazim), memperindah muṣḥaf (yang tak lazim). Mubah, seperti jabat tangan setelah subuh dab asar, melapangkan di dalam kelezatan makanan, minuman, pakaian, rumah, dan melonggarkan lengan baju. Syarḥ Al-Misykah Liṭ-oyyibiy Juz 2 Hal 605﴿.
            Jadi, bid’ah itu harus dilihat dengan teliti, jangan langsung mengatakan sesat, karena zaman nabi Muhammad tidak ada hukum bid’ah, yang ada cuma lima hukum. Kalau ada sesuatu yang baru maka harus dicermati bertentangan dengan syari’at atau tidak.
المحدثات من الأمور ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا، فهذه البدعة ضلالة، وما أحدث لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. قد قال عمر رضي الله عنه في قيام رمضان نعمت البدعة هذه ، يعني إنها محدثة لم تكن، وإن كانت فليس فيها رد لما مضى ﴿الجامع في المولد - ج ١٠ ص ٤
Hal baru dari beberapa perkara ada dua macam: 1. Perkara baru yang bertentangan dengan kitab (Al-Qur'an) atau sunnah (ḥadiṡ) atau aṡar (peninggalan sahabat) atau ijma‘ (kesepakatan ’ulama'), maka ini adalah bid’ah ḍolâlah (sesat). Dan 2. Perkara baru yang tidak ada pertentangan didalamnya bagi salah satu dari perkara tersebut (kitab, sunnah, aṡar dan ijma’), maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela. ’Umar RA. benar-benar berkata di dalam masalah ibadah romaḍon "Ni‘matil bid’ah hażihi (sebaik-baiknya bid’ah ialah ini [berjama’ah tarawih sebulan penuh sebanyak 20 raka’at tiap malam)", maksudnya bid’ah adalah hal baru yang tidak ada (sebelumnya), dan jika sudah ada maka tidak boleh menolak di dalamnya terhadap perkara yang sudah lewat. Al-Jami‘ Fil Maulid Juz 10 Hal 4﴿.
            Tidak benar kalau bid’ah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, sunnah, aṡar dan ijma‘ dikatakan sesat.
البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر بن الخطاب رضي الله عنه في قيام رمضان: نعمت البدعة هي ﴿فتاوى الشبكة الإسلامية - ج ١٠ ص ٤١٨٩
Bid’ah itu ada dua, bid’ah maḥmûdah (terpuji) dan bid’ah mażmûmah (tercela). Perkara yang sesuai dengan sunnah ialah bid’ah terpuji, dan perkara yang bertentangan dengan sunnah ialah bid’ah tercela. Ucapan ’Umar bin Khoṭṭob RA. di dalam penunaian romaḍon bisa dibuat bukti: Sebaik-baiknya bid’ah yaitu ini (penunaian romaḍon). Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah Juz 1 Hal 4189﴿.
            Bid’ah yang tidak bertentangan dengan syari’at adalah bid’ah terpuji. Lihatlah sejarah, seperti bid’ah tarawih, karena Rosululloh SAW. tidak pernah tarawih sebulan penuh dan berjama’ah di masjid cuma 8 raka’at lalu diteruskan dirumah sampai 20 raka’at.
وما يقال إنه أبدع بعد رسول الله ﷺ فليس كل ما أبدع منهيا بل المنهي بدعة تضاد سنة ثابتة وترفع أمرا من الشرع مع بقاء علته بل الإبداع قد يجب في بعض الأحوال إذا تغيرت الأسباب ﴿إحياء علوم الدين - ج ٢ ص ٣
Mananya perkara yang dikatakan diperbarui setelah Rosululloh SAW. maka setiap apa-apa yang diperbarui belum tentu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah bid’ah yang berlawanan dengan sunnah yang permanen dan menghilangkan perkara syari’at beserta masih ada alasannya, tetapi memperbarui kadang wajib di sebagian keadaan apabila terdapat perubahan sebab-sebab. Iḥya' Ulumiddin Juz 2 Hal 3﴿.
            Fatwa imam Hujjatul Islam Abu Ḥamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Gozaliy di atas sangat jelas dan tidak perlu penjelasan.
وقال الحافظ ابن رجب رحمه الله: البدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة فقوله ﷺ: "كل بدعة ضلالة"، من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيء وهو أصل عظيم من أصول الدين. وأما ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع فإنما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية فمن ذلك قول عمر رضي الله عنه في التراويح: "نعمت البدعة هذه" ﴿مجلة الجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة - ج ٣١ ص ٤٣١
Al-Ḥafiẓ Ibnu Rojab roḥimahullôh telah berkata: Bid’ah adalah perkara yang diperbarui dari perkara yang tidak ada asalnya di dalam syari’at yang menunjukkannya. Adapun perkara yang terdapat asal dari syari’at yang menunjukkannya maka bukan bid’ah menurut syari’at walaupun bid’ah menurut bahasa. Maka adapun sabda Nabi SAW. "setiap bid’ah sesat" ialah sebagian dari beberapa pengumpulan kata-kata yang tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, itu pokok penting dari beberapa pokok agama. Adapun perkara yang terjadi di sebagian perkataannya salaf tentang penganggapan baik sebagian bid’ah maka yang demikian itu di dalam bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at. Contohnya ucapan ’Umar RA. di dalam tarawih "sebaik-baiknya bid’ah ialah ini". Majallatul Jami’atil Islamiyyah Bil Madinatil Munawwaroh Juz 31 Hal 431﴿.
            Sebelum bercakap-cakap tentang bid’ah, sebaiknya mengetahu definisi bid’ah terlebih dahulu. Jangan sekali-kali membicarakan bid’ah kalau tidak tahu definisinya, apalagi dengan mudah mengeluarkan kata-kata "sesat". Bisa-bisa anda sendiri yang sesat dan menyesatkan.
            Wallôhu a‘lamu biṣ ṣowâb.



Ahlus Sunnah wal Jama'ah

            Ahlus sunnah wal jama’ah adalah golongan yang kelak bisa masuk surga. Banyak orang mengaku ahlus sunnah wal jama’ah akan tetapi tidak tahu apa itu ahlus sunnah wal jama’ah. Ahlus sunnah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, yaitu alhlu, as-sunnah dan al-jama’ah dan juga satu huruf aṭof (kata sambung), yaitu wawu. Ahlu artinya keluarga, golongan penganut atau pengikut, as-sunnah artinya peri kehidupan atau perilaku yang biasa disebut ḥadiṡ (ajaran Nabi Muhammad yang berupa ucapan, perbuatan dan pengakuan atau ketetapannya) dan al-jama’ah artinya kelompok atau perkumpulan, maksudnya apa saja yang telah disepakati oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ’Umar bin Khoṭṭob, ’Uṡman bin Affan dan ’Ali bin Abi olib). Nabi Muhammad SAW. bersabda:
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ ﴿السنن الكبرى للنسائي - ج ٨ ص ٢٨٦
Barang siapa yang menghendaki mewahnya kehidupan surga maka hendaklah ia mengikuti jama’ah. As-Sunan Al-Kubro Lin-Nasai Juz 8 Hal 286﴿.
          Referensi sunnah dan jama’ah seperti redaksi berikut:
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فِيْ خِلَافَةِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. ﴿الدولة الزنكية - ج ٣ ص ٢٩
As-Sunnah adalah apa-apa yang telah diajarkan oleh Rosululloh SAW.. Al-Jama’ah adalah apa-apa yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW. pada masa kekholifahan imam-imam empat khulafaur rosyidin, yang telah mendapat petunjuk. Semoga Alloh merahmati mereka semua. Ad-Daulah Az-Zenkiyah Juz 3 Hal 29﴿.
          Nabi Muhammad SAW. dengan jelas menuturkan bahwa yang layak diikuti adalah jama’ah. Jadi, apakah bisa dibenarkan orang yang mentiadakan sahabat sebagai pedoman? Bahkan ada juga yang mengkafirkan sahabat, padahal Nabi Muhammad menyuruh mengikuti sahabat.
          Di zaman akhir ini banyak sekali perbedaan yang membuat orang awam kebingungan. Di bawah ini ada sedikit urain tentang ahlus sunnah wal jama’ah sebagai pemecah kebingungan yang penulis sengaja menyajikan dengan referensi tertulis dan disertai marji’nya (sumbernya).
وَبِالْجُمْلَةِ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَهْلُ الْحَدِيْثِ وَمَنِ انْتَسَبَ إِلَى السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مِنْ أَهْلِ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ وَالتَّصَوُّفِ كَالْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَأَئِمَّةِ أَتْبَاعِهِمْ وَالطَّوَائِفِ الْمُنْتَسِبِيْنَ إِلَى الْجَمَاعَةِ كَالْكُلَّابِيَّةِ وَالْكَرَّامِيَّةِ وَالْأَشْعَرِيَّةِ وَالسَّالِمِيَّةِ يَقُوْلُوْنَ: إِنَّ كَلَامَ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ وَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ. وَهَذَا هُوَ الْمُتَوَاتِرُ الْمُسْتَفِيْضُ عَنِ السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ وَغَيْرِهِمْ. ﴿منهاج السنة النبوية - ج ٢ ص ٣٦٣
Dan secara global, ahlus sunnah wal jama’ah adalah ahli ḥadiṡ dan orang yang terkategori ke sunnah dan jama’ah, dari ahli tafsir, ḥadiṡ, fiqh dan taṣowwuf; seperti imam empat, imam-imam pengikut imam empat dan golongan yang terkategori ke jama’ah; seperti kullabiyyah, karromiyyah, asy’ariyyah dan salimiyyah, yang sama-sama berkata: sesungguhnya firman Alloh bukan makhluk, dan Al-Qur'an adalah firman Alloh yang bukan makhluk. Ini ialah yang berturut-turut lagi tersiar dari salaf dan imam-imam dari ahlul bait dan selain ahlul bait. Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah Juz 2 Hal 363﴿.
          Setelah mengetahui tentang ahlus sunnah wal jama’ah maka secepatnya diikuti agar kelak bisa selamat di akhirat dan bisa menempati tempat terindah, yakni surga yang dipersiapkan khusus untuk orang-orang yang taat kepada-Nya. Teorinya memang mudah tetapi prakteknya sulit, karena sukar mencari tahu siapa orang yang berpegang teguh kepada sunnah dan jama’ah. Apabila berpegangan ḥadiṡ Nabi Muhammad maka pasti akan menemukan titik terang dan tidak bingung dalam berbagai perbedaan. Simak sabda Nabi Muhammad di bawah ini:
...حَدَّثَنِي أَبُو خَلَفٍ الْأَعْمَى قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ ﴿سنن ابن ماجه - ج ٢ ص ١٣٠٣
...Abu Kholaf Al-A‘ma bercerita kepadaku, dia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Aku mendengar Rosululloh SAW. bersabda: Sesungguhnya umatku tidak berkumpul (sepakat) atas kesesatan, lalu apabila kalian melihat perbedaan maka senantiasalah (mengikuti) golongan mayoritas. Sunan Ibnu Majah Juz 2 Hal 1303﴿.
          Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang mengikuti golongan mayoritas disaat banyak perbedaan. Ḥadiṡ di atas ada hubungan erat dengan ḥadiṡ di bawah ini:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلَى هَذِهِ الْأَعْوَادِ، أَوْ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ: "مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ، وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ، وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ" قَالَ: فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ: "عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ!" قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ: مَا السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: هَذِهِ الْآيَةُ فِي سُورَةِ النُّورِ {فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ (النور: ٥٤)} ﴿مسند أحمد - ج ٣٠ ص ٣٩٢
Dari Nu‘man bin Basyir berkata: Rosululloh SAW. bersabda atas tongkat ini atau di atas mimbar ini: "Barang siapa tidak mensyukuri perkara sedikit maka tidak akan mensyukuri perkara banyak, dan barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia maka tidak akan bersyukur kepada Alloh, dan menceritakan nikmat Alloh ialah syukur dan meninggalkannya ialah kufur, dan jama’ah adalah rahmat dan perpisahan adalah ażab". Periwayat berkata: Abu Umamah Al-Bahiliy berkata: "Senantiasalah mengikuti golongan mayoritas!" Periwayat berkata: Seorang laki-laki berkata: Apa itu golongan mayoritas? Abu Umamah berkata: Ayat ini di dalam surat An-Nur {Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rosul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu (An-Nur: 54)}. Musnad Aḥmad Juz 30 Hal 392﴿.
          Kenapa yang harus diikuti adalah golongan mayoritas? Jawabannya; karena tidak akan terjadi sebuat kesepakan atas kesesatan. Bila para ’ulama diberbagai daerah mempunyai pendapat yang sama, berarti kesamaan itu ialah petunjuk dari Alloh SAW., sebab Alloh SWT. tidak akan mengumpulkan para ’ulama dalam kesesatan. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: لَا يَجْمَعُ اللهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ عَلَى الضَّلَالَةِ أَبَدًا وَقَالَ: يَدُ اللّٰهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ فَاتَّبِعُوا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ، فَإِنَّهُ مَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ ﴿المستدرك على الصحيحين للحاكم - ج ١ ص ١٩٩
Dari Ibnu Umar berkata: Rosululloh SAW. bersabda: Alloh selamanya tidak mengumpulkan umat ini (Muhammad) atas kesesatan, dan Ibnu Umar berkata: Kekuasaan (kenikmatan) Alloh berada pada jama’ah, maka ikutilah golongan mayoritas, maka barang siapa menyendiri maka menyendiri di dalam neraka. Al-Mustadrok ’Alaṣ Ṣoḥiḥain Lil Ḥakim Juz 1 Hal 199﴿.
          Nabi Muhammad memerintahkan agar mengikuti golongan mayoritas dan memberi peringatan bahwa orang yang menyendiri akan amsuk neraka. Maka dari itu jagan sampai bercerai berai karena hanya satu golongan yang nantinya akan selamat di akhirat. Hal itu sudah dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam sebuah adi:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: تَفَرَّقَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَأُمَّتِي تَزِيدُ عَلَيْهِمْ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ ﴿المعجم الأوسط - ج ٧ ص ١٧٥
Dari Abi Umamah berkata: Aku mendengar Rosululloh SAW. bersabda: Bani israil bercerai-berai menjadi tujuh puluh satu golongan, nasrani bercerai-berai menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku golongannya lebih (banyak) daripada mereka, semuanya masuk neraka kecuali golongan mayoritas. Al-Mu‘jam Al-Ausaṭ Juz 7 Hal 170﴿.
          Yahudi terpecah belah, Nasrani terpecah belah, bahkan umat Islam juga terpecah belah. Lalu siapa yang akan selamat dan menempati surga kelak? Yaitu orang-orang yang mengikuti golongan mayoritas. Siapakah golongan mayoritas? Jawabannya ada di bawah ini:
ش - (السواد الأعظم) أي الجماعة الكثيرة. فإن اتفاقهم أقرب إلى الإجماع. قال السيوطي في تفسير السواد الأعظم أي جماعة الناس ومعظمهم الذين يجتمعون على سلوك المنهج المستقيم. والحديث يدل على أنه ينبغي العمل بقول الجمهور ﴿سنن ابن ماجه - ج ٢ ص ١٣٠٣
Keteranagan - (As-Sawadul A‘ẓom) artinya jama’ah banyak. Sesungguhnya kesamaan jama’ah banyak adalah paling mendekati ke ijma’ (pembulatan suara). As-Suyuṭiy berkata di dalam masalah penjelasan sawad a‘ẓom, artinya: jama’ah manusia dan mayoritas, yaitu orang-orang yang berkumpul atas perilaku ajaran yang lurus. Ḥadiṡ (itu) menunjukkan bahwa sesungguhnya seyogya mengamalkan ucapan atau fatwa kebanyakan ’ulama. Sunan Ibnu Majah Juz 2 Hal 1303﴿.
          Golongan mayoritas adalah kelompok terbanyak yang mengikuti ajaran yang lurus. Kelompok banyak yang tidak mengikuti jalan yang lurus maka bukan disebut golongan mayoritas yang harus diikuti. Yang menjadi titik tekan adalah orang-orang yang berada pada jalan lurus, seperti penjelasan berikut:
قال السندي: قوله: (فإن تولَّواْ فإنما عليه ما حمِّل): ظاهره أنه أراد أن من أطاع الله ورسوله، فهم السواد الأعظم، قليلين كانوا أو كثيرين، والله تعالى أعلم. ﴿مسند أحمد - ج ٣٠ ص ٣٩٣
As-Sindiy berkata: Firman Alloh (Faiŋ tawallau fainnamâ ’alaihi mâ ḥummila: “Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rosul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya”: sisi luarnya yaitu sesungguhnya orang yang taat kepada Alloh dan rosul-Nya maka mereka adalah golongan mayoritas, baik sedikit atau banyak, wallôhu a’lam. Musnad Aḥmad Juz 30 Hal 393﴿.
          Walaupun hanya orang sedikit apabila yang diikuti adalah Alloh dan Rosul-Nya maka bisa disebut “As-Sawadul A’ẓom”, terlebih apabila yang mengikuti Alloh dan Rosul-Nya adalah kebanyakan orang. Penjelasan lebih mendalam tentang “As-Sawadul A’ẓom” ialah sebagai berikut:
فَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقُوا عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَالنَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا عَلَى الضَّلَالَةِ إِلَّا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، مَنْ لَمْ يُمَارِ فِي دِينِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَمْ يُكَفِّرْ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ التَّوْحِيدِ بِذَنْبٍ ﴿الشريعة للآجري - ج ١ ص ٤٣١
Maka sesungguhnya bani israil bercerai-berai menjadi tujuh puluh satu golongan, nasrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umatku akan bercerai-berai menjadi tujuh puluh tiga golongan, semua sesat kecuali golongan mayoritas. Para sahabat bertanya: Wahai Rosul Alloh, siapa golongan mayoritas? Rosul menjawab: yaitu orang yang mengamalkan perkara yang aku dan sahabatku mengamalkannya, orang yang tidak menentang agama Alloh ta’ala dan tidak mengkafirkan seseorang dari penganut tauhid sebab sebuah dosa. Asy-Syari’ah Lil Ajiriy Juz 1 Hal 431﴿.
          Jika ada yang mengaku ahlus sunnah wal jama’ah tetapi mencaci maki sebagian sahabat maka ia bukan ahlus sunnah wal jama’ah, apalagi yang mudah mengkafir-kafirkan orang Islam. Lihatlah keterangan di bawah ini supaya lebih mantap:
ولو سألت الجهال عن ذلك لقالوا: جماعة الناس ولايعلمون أن الجماعة عالم متمسك بالكتاب والسنة ﴿مشيخة دانيال - ج ١ ص ٥
Dan kalau kamu bertanya ke orang-orang bodoh tentang demikian itu (golongan mayoritas) maka mereka mengatakan: jama’ah manusia, mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya yang dimaksud adalah orang yang ’alim yang berpegang dengan kitab dan sunnah. Masyyakhotu Daniyal Juz 1 Hal 5﴿.
          Kalau mau mengikuti ahlus sunnah wal jama’ah maka ikutilah orang ’alim yang berpegang teguh kepada kitab suci Al-Quran dan sunnah (ḥadiṡ) Nabi Muhammad SAW.. Kenapa harus mengikuti orang ’alim? Kenapa tidak langsung kembali kepada Al-Quran dan Ḥadiṡ?
          Setiap Alloh SWT. menurunkan kitab suci (Al-Quran, Tauroh, Zabur dan Iŋjil) pasti Alloh SWT. juga mengutus seorang Rosul. Kitab suci sebagai buku pedoman dan Rosul sebagai guru yang menjelaskan. Seperti lazimnya di dunia pendidikan, baik formal maupun non formal, tidak cukup hanya dengan mempelajari buku-buku saja, tetapi harus ada guru yang membimbing. Demikian juga kitab suci, harus ada seorang ustaż (guru) yang mumpuni ilmunya sebagai pembimbing supaya tidak salah dalam memahami. Jika yang benar adalah langsung kembali kepada Al-Quran dan Ḥadiṡ, tidak boleh mengikuti ’ulama, dan seorang ustaż tidak diperlukan, kenapa Alloh SWT. mengutus Rosul?
          Bagi orang yang ilmunya mumpuni memang bisa dibenarkan jika langsung kembali ke Al-Quran dan Ḥadiṡ. Lalu bagi orang awam tentu tidak bisa dibenarkan jika langsung kembali ke Al-Quran dan Ḥadiṡ karena akan menimbulkan kesalahfahaman yang fatal. Orang awam itu seharusnya mengikuti orang alim (’ulama), dan hanya ’ulama yang boleh langsung berpedoman Al-Quran dan Ḥadiṡ.
          Sebelum Al-Quran diturunkan bangsa Arab adalah orang termahir tentang bahasa arab. Bahkan orang Arab sangat banyak yang pandai sastra arab. Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab di negara yang bangsanya paling banyak mengetahui bahasa arab. Alloh SWT. pada waktu menurunkan Al-Quran juga disertai mengutus Rosul (Muhammad SAW.), padahal orang Arab bisa berbahas arab dengan baik. Alloh tidak menyuruh bangsa Arab langsung belajar Al-Quran, tetapi menyuruh iman kepada Rosul dan belajar Al-Quran kepadanya. Rosul itulah yang menjelaskan isi dan kandungan Al-Quran. Alloh SWT. tidak menyuruh orang Arab langsung mempelajari Al-Quran, melainkan menyuruh orang Arab agar belajar Al-Quran dari Rosul. Ini yang menjadi bukti bahwa ’ulama sebagai penerus Rosul yang membawa penjelasan-penjelasan Al-Quran, yang harus diikuti oleh orang awam. Jadi, tidak dibenarkan langsung kembali kepada Al-Quran dan Ḥadiṡ bagi orang awam karena bisa menimbulkan salah dalam memahami.
          Sekarang ini dunia pendidikan semakin maju, ada yang negeri ada yang swasta pula. Siapa yang tidak meyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan di zaman akhir seperti saat ini. Tujuan menyekolahkan anak supaya anaknya dididik oleh guru agar tidak salah ilmu yang diperoleh, karena ilmu tersebutlah yang akan menjadi bekal kehidupan di dunia. Nah, urusan duniawi (bersifat dunia) begitu diperhatikan dan harus digurukan, kenapa urusan ukhrowi (bersifat akhirat) malah gegabah dan tidak digurukan. Pendidikan formal tidak cukup hanya belajar dari buku, apa cukup agama Islam langsung belajar dari Al-Quran dan Ḥadiṡ dengan mengingat Islam diturunkan dengan disertai Rosul sebagai guru besar?
          Mari membuka mata dan telinga untuk menelaah sejarah Nabi Muhammad SAW.. Dahulu Nabi Muhammad membangun Masjid Nabawi dan berserambi. Di serambi ada sejumlah sahabat yang menetap untuk belajar Islam kepada Nabi Muhammad. Sahabat-sahabat itu dinamakan aṣḥabuṣ ṣuffah. Aṣḥabuṣ ṣuffah ini yang menjadi cikal bakal pondok pesantren atau lembagai pendidikan Islam lainnya yang menyebar luaskan Islam. Aṣḥabuṣ ṣuffah tidak langsung mempelajari Al-Quran dan Ḥadiṡ sendiri-sendiri tetapi berguru kepada Nabi Muhammad SAW.. Kalau Al-Quran dan Ḥadiṡ boleh langsung dipelajari orang awam sendiri-sendiri tanpa berguru, pasti Nabi Muhammad SAW. menyuruh pulang aṣḥabuṣ ṣuffah agar mempelajari Al-Quran dan Ḥadiṡ secara langsung dan sendiri-sendiri dirumah. Alhasil kita harus berguru kepada ’ulama, dan tidak boleh langsung kembali ke Al-Quran dan Ḥadiṡ.
          Kembali ke pembahasan ahlus sunnah wal jama’ah, kesimpulan ahlus sunnah wal jama’ah adalah mengikuti apa-apa yang diajarkan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan cara berguru kepada ’ulama.
          Wallôhu aʽlamu biṣ ṣowâb.